Chelsea Princessa Nayatama: Jejak Juara di Tubuh Cucu Sang Legenda Bulu Tangkis

Ludus01

Darah juara mengalir, tapi Chelsea Princessa Nayatama tak mengikuti jejak raket sang nenek. Ia memilih air. Dan air memilihnya kembali.

Chelsea Princessa Nayatama (Foto: Dokpri)

Chelsea Princessa Nayatama (Foto: Dokpri)

Di kolam renang, suara tidak bisa menembus permukaan. Tapi dari dalam air, seorang anak perempuan berusia dua belas tahun sedang menulis sesuatu yang tak tertulis: warisan. Ia menari di renang artistik, ia melesat di gaya bebas. Dalam diamnya air, dunia mencatat delapan medali dari dua cabang berbeda.

Namanya Chelsea Princessa Nayatama. Biasa dipanggil Ceca. Lahir di Jakarta, 28 Agustus 2012. Seorang siswa kelas 7 di SMPN 19 Jakarta yang juga anggota klub renang Tirta Taruna 66, Jakarta. Ia bukan sekadar nama baru di dunia olahraga air — ia adalah gelombang baru yang tenang tapi pasti.

Di Kejurnas Akuatik 2025 yang berlangsung 2–4 Juni, nama itu tidak hanya muncul di papan skor—ia melambung di benak para pencinta olahraga. Chelsea tampil seperti dongeng anak-anak yang menyelam. Delapan medali diraihnya dari dua cabang berbeda: tiga emas, tiga perak, dua perunggu. Tapi angka-angka ini bukan segalanya. Ada yang lebih penting dari jumlah: keberanian seorang bocah menaklukkan dua dunia sekaligus—renang konvensional dan renang artistik atau dulu dikenal dengan renang indah.

Chelsea menorehkan prestai di Kejurnas Akuatik 2025 dengan 3 medali emas 3 perak dan 2 perunggu (Foto: Humas PB Akuatik Indonesia)

Chelsea menorehkan prestai di Kejurnas Akuatik 2025 dengan 3 medali emas 3 perak dan 2 perunggu (Foto: Humas PB Akuatik Indonesia)

Pada kategori KU-B Solo Free Routine di cabang renang artistik, Chelsea tampil di tengah kesunyian air. Ia tak memakai kacamata. Hanya penutup hidung yang menempel. Musik mengalun, tubuhnya bergerak, memutar, melenting, membentuk garis, ritme, dan makna.

Skornya: total 58.0000 poin. Nilai artistik mencapai 5.8333. Eksekusi 5.7333. Semua nyaris presisi. Bukan hanya teknis, tapi emosional. Penonton menahan napas. Juri mencatat tanpa ragu. Ia memukau dan sederhana: membuat orang lupa bahwa ia baru berusia 12 tahun.

Tampil mengesankan di Kejurnas Akuatik 2025, Chelsea sebagai penanda regenarasi (Foto: Humas PB Akuatik Indonesia)

Tampil mengesankan di Kejurnas Akuatik 2025, Chelsea sebagai penanda regenarasi (Foto: Humas PB Akuatik Indonesia)

“Alhamdulillah, hasilnya bagus. Saya puas banget,” ucap Chelsea usai perlombaan, diapit orang tuanya yang tak pernah lelah menyertai. “Papa selalu nemenin aku pas lomba dan latihan, mama sering banget nganterin pagi, sore, malam.”

Satu kalimat terakhir itu—diucapkan pelan, tapi sarat makna. Di balik medali, ada logistik harian yang rumit. Ada peluh orang tua. Ada antar-jemput di pagi buta. Ada sore yang dilewatkan di pinggir kolam.

Menekuni dua cabang olahraga air sekaligus jelas bukan perkara enteng. Chelsea tahu itu sejak awal. Ia mulai berenang sejak usia enam tahun. Setahun kemudian, renang artistik masuk ke dalam hidupnya—dan tinggal di sana.

Sekarang, ia harus membagi waktu antara dua dunia yang tampak serupa, tapi sangat berbeda. “Menurut aku, renang artistik lebih sulit,” katanya tanpa ragu. “Butuh endurance banget, apalagi pas tampil gak pakai kacamata.”

Durasi latihannya mencerminkan tingkat kesulitannya. Untuk renang biasa: dua jam. Untuk renang artistik: bisa sampai empat jam. Di balik keindahan gerak dalam air, ada latihan yang monoton dan melelahkan. Semuanya dijalani dengan jadwal ketat yang harus selaras antara pelatih renang dan pelatih renang artistik. “Senin latihan renang indah, terus lompat hari latihan renang biasa. Jadi butuh koordinasi banget,” ujarnya sambil tersenyum kecil.

Ada kedewasaan dalam caranya bercerita—juga dalam caranya menerima rutinitas.

Prestasinya pun bukan baru tahun ini. Sejak 2023, Chelsea telah mencatatkan deret piala dan piagam dalam berbagai kejuaraan daerah dan nasional. Namanya telah bergema di lintasan-lintasan air sebelum media sempat menulisnya.

Maka keberhasilan Chelsea di Kejurnas Akuatik 2025 adalah lebih dari sekadar prestasi individu. Ia menjadi semacam penanda: bahwa olahraga akuatik Indonesia sedang—atau setidaknya bisa—bergerak maju. Di tengah dominasi bulu tangkis dan sepak bola, Chelsea seperti mengingatkan bahwa air juga punya anak-anaknya. Dan mereka bisa bersinar.

Ayahnya, Yandi, berasal dari Banjarmasin dan bekerja sebagai pegawai negeri. Ibunya, Diah Puspita Rini, dari Jakarta, memilih sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga yang hadir setiap waktu latihan. Ceca adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ia tumbuh dalam keluarga yang tahu benar bahwa ketekunan bukan sekadar kata, tapi napas harian. “Papa selalu nemenin aku pas lomba dan latihan, mama sering banget nganterin pagi, sore, malam,” katanya haru.

Kini, tiap pekan, ia harus membagi waktu antara dua disiplin berbeda. “Kalau menurut aku, lebih sulit renang artistik. Butuh endurance banget, apalagi pas tampil nggak pakai kacamata, cuma penutup hidung aja,” ujarnya. Renang biasa hanya dua jam. Renang artistik bisa sampai empat jam. Dan semua harus dikordinasi dengan jadwal sekolah yang tak bisa ditawar.

Dan, dari perjuangannya, ada yang lebih dalam dari sekadar gen: keyakinan bahwa kejayaan bisa diwariskan, bukan hanya lewat nama, tapi lewat semangat. Di atas permukaan air yang berkilau di Jakarta, seorang anak berusia 12 tahun berenang bukan sekadar mengejar medali—ia menapak takdir.

Di balik percikan itu, ada nama besar yang mengalir dalam darahnya: Verawaty Fadjrin, sang nenek, adalah ikon. All England. Asian Games. Kejayaan yang kini hidup dalam kenangan kolektif bangsa. Tapi Chelsea tidak berenang di bawah bayang-bayang. Ia tidak menjiplak. Ia menemukan jalannya sendiri—di air, bukan di udara.

Kenangan bersama almarhumah Verawaty Fadjrin, sang nenek, legenda bulu tangkis Indonesia, yang menemani pada saat ia turun arena kolam renang (Foto: Dokpri)

Kenangan bersama almarhumah Verawaty Fadjrin, sang nenek, legenda bulu tangkis Indonesia, yang menemani pada saat ia turun arena kolam renang (Foto: Dokpri)

Namun semangat itu sama: ketekunan, pengorbanan, keberanian menatap mimpi. Tradisi kejayaan Indonesia, jika memang ada, bisa jadi bukan soal raket, tapi soal cara setiap generasi menyalakan lagi semangat yang lama padam.

Verawaty pernah menorehkan sejarah di panggung dunia. Kini, cucunya mencoba membuat riak baru—di permukaan air, dalam tubuh kecil, dan di dalam tekad besar.

Chelsea bukan atlet biasa. Kini, di dekade baru, jejak itu berubah rupa: dari lapangan ke kolam, dari shuttlecock ke kilatan air.

Dalam renang, Chelsea berenang seolah air adalah bagian dari tubuhnya. Tapi dalam renang artistik—dulu disebut renang indah—ia tidak hanya berenang; ia menari di dalam air, mengalir bersama irama, membentuk puisi dengan tubuhnya.

Tapi, dari semua koordinasi dan latihan, ada satu hal yang tak bisa dijadwalkan: kenangan. Ketika ditanya soal sang nenek, yang sudah meninggal pada 21 November 2021, Chelsea tak ragu membuka hatinya.

“Almarhumah Nenek adalah idola aku dari dulu, jadi motivasi aku buat wujudin impian Nenek lihat aku berprestasi,” katanya. “Semasa hidup, Nenek selalu nemenin aku tiap lomba dan nggak pernah lupa doain aku. Sekarang beliau udah nggak ada, tapi aku masih ngerasa doanya tetap nyertai aku sampai hari ini.”

Apakah sang nenek tak memintanya memilih raket?

Nggak. Nenek kasih kebebasan buat pilih olahraga yang aku suka. Sama seperti Papa yang kariernya di basket,” jawabnya ringan, seolah kebebasan memilih adalah hak yang paling sakral dalam keluarga juara.

Kisah Chelsea adalah kisah regenerasi. Di negara yang terlalu lama menaruh harapan pada bulu tangkis dan sepak bola, Chelsea inginmembalikkan cerita itu. Ia menunjukkan bahwa air bisa jadi panggung megah bagi siapa pun yang berani menyelami.

Kini, Chelsea memeluk air sebagai panggung, bukan bayangan. Ia tak sekadar menyalin nama besar, tapi sedang menulis namanya sendiri. Mimpi besarnya, tidak ia sembunyikan. Chelsea ingin mewakili Indonesia di berbagai ajang besar: Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas), Pekan Olahraga Nasional (PON), SEA Games, bahkan Asian Games. Baik di cabang renang maupun renang artistik.

Tak sekadar naik podium juara, Chelsea ingin tampil di arena besar seperti SEA Games maupun Asian Games untuk membawa harum Indonesia (Foto: Dokpri)

Tak sekadar naik podium juara, Chelsea ingin tampil di arena besar seperti SEA Games maupun Asian Games untuk membawa harum Indonesia (Foto: Dokpri)

Ia tidak hanya mengincar podium. Ia ingin tampil. Ia ingin Indonesia hadir di kolam. Ingin berprestasi dan membawa harum nama negara, seperti yang dilakukan dan bahkan diinginkan sang nenek. "Jadi motivasi terbesar saya untik mewujudkan impian nenek," ceritanya.

Air tidak pernah menyimpan dendam, kata seorang filsuf. Ia hanya mengalir, tenang, sabar, tapi tak terbendung. Mungkin Chelsea juga begitu. Ia tidak melawan dunia, ia hanya berenang di dalamnya. Tapi dalam setiap geraknya, kita bisa melihat gema masa lalu dan bayang masa depan: seorang cucu yang melanjutkan cerita, bukan dengan raket, tapi dengan denyut air.

Dedikasi, bakat, dan dukungan keluarga Chelsea, menjadi fondasi kuat bagi anak-anak muda untuk bersinar di olahraga akuatik, yang selama ini kurang mendapatkan sorotan dibandingkan cabang lain seperti bulutangkis atau sepak bola (Foto: Humas PB Akuatik Indonesia)

Dedikasi, bakat, dan dukungan keluarga Chelsea, menjadi fondasi kuat bagi anak-anak muda untuk bersinar di olahraga akuatik, yang selama ini kurang mendapatkan sorotan dibandingkan cabang lain seperti bulutangkis atau sepak bola (Foto: Humas PB Akuatik Indonesia)

Mungkin memang ada sesuatu yang diwariskan dari Verawaty. Tapi bukan hanya teknik atau ambisi. Yang diwariskan adalah karakter: keberanian untuk memilih jalur sendiri dan kesetiaan pada kerja keras. Dalam tubuh mungil Chelsea, tradisi juara itu tidak dibebankan — ia justru dipeluk lembut. Diperbolehkan tumbuh di air, bukan di lapangan.

Dan di kolam sunyi itu, Ceca berenang — membawa nama sendiri, membawa nama keluarga, dan membawa semangat seorang nenek yang tak pernah benar-benar pergi.

Dan mungkin, dalam diam kolam yang tenang, sang nenek, melihat perjuangannya. Tersenyum

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!