Statuta Baru PSSI, Erick Thohir: Sepak Bola Tak Bisa Dibangun dari Pusat Saja

Ludus01

Di negeri kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, membangun sepak bola bukan hanya soal strategi, tapi juga soal geografi. Bukan hanya soal bakat, tapi juga bagaimana bakat itu bisa bermain, bertanding, bertahan, dan akhirnya bermimpi. Dalam kondisi itulah, keputusan penting diambil di Jakarta, Rabu, 4 Juni 2025.

Kongres Biasa PSSI tahun ini menetapkan perubahan Statuta yang secara substansial mengubah logika pembangunan sepak bola nasional. Statuta 2019 kini resmi digantikan oleh Statuta 2025, dengan satu semangat besar: memberikan panggung yang lebih luas bagi daerah. Bukan sekadar perpanjangan tangan pusat, melainkan fondasi utama dari sistem yang ingin dibangun. Sepak bola Indonesia, untuk pertama kalinya secara tegas, diserahkan ke akar rumputnya.

Ketua Umum PSSi Erick Thohir (Foto: PSSI)

Ketua Umum PSSi Erick Thohir (Foto: PSSI)

Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, dalam keterangan pers seusai kongres, menyampaikan bahwa ada tiga poin besar dalam perubahan ini. Namun, yang paling krusial adalah desentralisasi peran: “Peran sepak bola nasional sekarang tidak hanya bergantung di nasional itu sendiri, tetapi kita berharap justru sekarang ujung tombaknya ke daerah-daerah,” ujarnya.

Dalam skema baru ini, Asosiasi Provinsi (Asprov) memiliki peran sentral. Pemilihan ketua Asprov tetap dilakukan secara terbuka. Namun, kini pimpinan Asprov diberi kewenangan menunjuk ketua Asosiasi Kota (Askot) dan Asosiasi Kabupaten (Askab) guna memperkuat sinergi vertikal yang selama ini lemah.

“Selama ini ketika kita membangun sepak bola di daerah-daerah, sulit sekali koordinasi antara Asprov dan juga Kota. Dengan sekarang bersinergi seperti ini, ketika bicara nantinya Liga 4, itu akan di kota-kota selama 4 bulan. Lalu nanti juaranya Liga 4 akan naik ke provinsi, itu kita putar ke Liga 3. Artinya apa, ada kesinambungan dan fleksibilitas,” jelas Erick.

Ia mencontohkan situasi di Bali, yang memiliki sembilan kabupaten/kota dan total 50 klub. Namun hanya dua kota yang punya masing-masing 14 klub. Artinya, tujuh kota lainnya tidak cukup klub untuk menggelar kompetisi sendiri. Dengan kolaborasi yang kuat antara Asprov dan Askot, solusi bisa diambil: Liga 4 tetap jalan.

“Contoh ketika Denpasar 14 klub, satu kota lainnya 14 klub, yang 7 kota jumlahnya 22 klub, mereka bisa bersatu menjadi satu payung, tidak ada ego sektoral. Mereka juga bisa bersepakat, bahwa Liga 3 Provinsi itu mau 16 klub, akhirnya mereka bikin kuota. Denpasar 3 misalnya, kota lain 3, lalu 22 klub diwakili 8 klub, jadi totalnya 14, berputar lagi Liga 3,” urainya.

Masalah geografis yang selama ini kerap menghambat kompetisi juga disentuh. Di Kalimantan Timur, ada satu pulau yang lebih dekat ke Kalimantan Utara. Selama ini akses dan biaya menjadi kendala.

“Apa solusinya? Apa kita diamkan mereka tidak main bola, jarak lima jam? Kalau Asprov dan Askot bersatu, mereka bisa tukar supaya wilayah itu tidak masuk Kalimantan Timur tapi Kalimantan Utara karena jarak tempuhnya, semua karena biaya,” tegas Erick.

Menurutnya, Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau, dengan rentang antar ujung bisa mencapai 8 jam, tak bisa ditangani dengan pendekatan zona yang kaku. Sinergi pusat dan daerah menjadi mutlak.

“Kalau kita stigmanya by zona kaku dan sulit diatur, akhirnya jadi korban kita semua. Dengan tadi Asprovnya kuat, Askabnya ditunjuk, lalu ada peraturan daerah, Permendagri, Bupati Cup, Gubernur Cup, akhirnya APBD bisa. Ini yang kita putar kembali. Tidak mungkin membangun sepak bola semua dari pusat, tidak cukup dana,” tegasnya.

Meski PSSI saat ini punya anggaran terbesar sepanjang sejarah, kata Erick, dana itu tetap belum mencukupi seluruh kebutuhan.

“Futsal masih minta, bola pantai belum kebagian, makanya distribusi kesejahteraan ini harus terjadi. Fleksibilitas kesepakatan ini yang kemarin sulit dijalankan. Inilah formula yang coba kita jalankan dua tahun ke depan. Saya yakin sistem ini lebih merata, lebih jalan, tak ada ketimpangan.”

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?

MULAI BAGIKAN

Response (0)

John Doe

Login untuk berkomentar

Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.

No comments yet. Be the first to comment!