
LUDUS - Enam bulan sudah sejak Anthony Sinisuka Ginting terakhir menjejakkan kaki di lapangan kompetisi, tepatnya di Malaysia Open 2025. Cedera bahu membuatnya menepi, membuat waktu terasa melambat. Kini, di Japan Open 2025 menjadi panggung pertamanya untuk memulai ulang. Sebuah perjalanan yang tak hanya menyoal fisik, tapi juga perasaan yang lama tertahan.

Foto/PBSI
Arena tempat ia bertanding kali ini, Tokyo Metropolitan Gymnasium, mungkin bukan venue Olimpiade. Namun Tokyo tetap menyimpan magnet bagi Ginting. Ia pernah berdiri gagah di podium Olimpiade Tokyo 2020, membawa pulang medali perunggu dari Musashino Forest Sport Plaza, hanya berjarak beberapa kilometer dari arena ini. Kini ia kembali, bukan untuk kemenangan, melainkan demi mencari kembali ritme yang sempat hilang bersama waktu.
Namun pertandingan pertama setelah jeda panjang tak selalu berujung pada cerita manis. Ginting langsung dipertemukan dengan pemain tuan rumah, Kodai Naraoka. Ia kalah dua gim langsung, 13-21 dan 19-21, dalam pertandingan yang menunjukkan bahwa fisik yang pulih belum tentu sejalan dengan ritme yang utuh.
Padahal, awal gim pertama sempat menjanjikan. Ginting memimpin 3-1, seolah raketnya menyambut kembali genggamannya. Tapi Naraoka, dengan kesabaran yang khas, menyeret pertandingan ke dalam reli-reli panjang dan membuat Ginting kehilangan pijakan. Skor terus bergerak ke arah lawan. Interval pertama berakhir 11-9 untuk Naraoka, dan setelah itu tekanan tak berhenti. Gim pun ditutup cepat, 13-21.
Gim kedua lebih menegangkan. Ginting sempat tertinggal 2-7, lalu perlahan menemukan kembali getaran langkahnya. Ia menyamakan skor, memimpin 10-9, bahkan unggul 19-18 setelah memenangkan adu drive cepat. Tapi saat peluang sudah sedekat nafas sendiri, smes-nya justru membentur net. Naraoka menyambar kesempatan itu, dan menyudahi laga: 21-19.

Foto/PBSI
Bagi Ginting, kekalahan ini tak bisa disembunyikan di balik kata “comeback”. Tapi ia tidak berdalih. Seusai pertandingan, ia bicara pelan namun jujur:
“Pertama mengucap syukur bisa kembali ke pertandingan dengan baik dan tanpa cedera. Enam bulan rehat dari turnamen bukan waktu yang sebentar. Tapi tadi mencoba semaksimal mungkin, dari pikirannya, fokusnya.”
Ia menyadari bahwa ini belum yang terbaik. Belum mendekati. Ia masih mencari-cari pola, ritme, dan ketajaman yang dulu membuatnya ditakuti.
“Ini masih belum yang saya harapkan terutama di gim pertama, kurang bisa menemukan ritme dan pola permainan. Di gim kedua sebelum interval masih belum dapat. Setelah interval terus mencoba cari, pelan-pelan dan sedikit lagi bisa sebenarnya apalagi sudah sempat unggul hanya di poin-poin krusial lepas lagi. Itu yang menjadi PR untuk turnamen berikutnya,” katanya.

Foto/PBSI
Ginting dan Japan Open memang telah lama punya hubungan yang rumit. Sejak debutnya pada 2017, turnamen ini menjadi semacam cermin, memperlihatkan bukan hanya siapa dirinya sebagai atlet, tapi juga fase-fase jatuh bangun dalam hidupnya.
Di tahun pertamanya, ia langsung terhenti di babak awal. Debut tanpa gemuruh kemenangan. Setahun kemudian, 2018, ia datang dengan lebih banyak pengalaman. Namun langkahnya kembali dipatahkan, kali ini oleh pemain Denmark, yang kelak jadi rival abadi: Viktor Axelsen. Kekalahan itu bukan sekadar angka di papan skor, tapi pelajaran tentang seberapa keras dunia bulu tangkis bisa mencengkeram dan melemparkan.
Lalu 2019 datang sebagai musim di mana segalanya tampak menjanjikan. Ia melangkah ke perempat final. Dalam satu pertandingan, ia menang dramatis atas Sitthikom Thammasin dalam laga tiga gim yang melelahkan. Tapi perjalanan itu kembali diputus oleh Kento Momota, dewa rumah sendiri.
Namun setelah itu, bukannya naik, grafik Ginting justru merosot. Tahun 2022, ia mundur sejak babak pertama karena cedera. Tahun berikutnya, 2023, ia disingkirkan oleh Kanta Tsuneyama di babak 32 besar. Dan 2024, ia bahkan tak menyelesaikan pertandingan, cedera engkel membuatnya menyerah lebih cepat dari semestinya.
Lalu datanglah 2025. Japan Open yang ketujuh baginya. Tapi cerita belum berubah. Kekalahan datang lagi, bukan karena fisik semata, tapi karena ritme yang belum utuh dan nyali yang belum kembali seperti sedia kala.
"Tujuan awal memang untuk mengembalikan feeling tapi bukan berarti main asal-asalan jadi tetap mencoba menerapkan strategi yang sudah didiskusikan dengan pelatih. Sebisa mungkin mengatasi apa kendala yang terjadi di lapangan."
Namun, justru dari semua jejak itu, kita tahu: Japan Open bukan sekadar turnamen bagi Ginting. Ini adalah tempat ia berkali-kali jatuh dan sedang belajar untuk berdiri lagi. Dari tujuh kali penampilan, hanya satu yang benar-benar berkilau. Sisanya adalah catatan tentang cedera, ketegangan, dan waktu yang terus menguji. Tapi dari situlah keberanian seorang atlet diuji: bukan berapa kali ia menang, melainkan berapa kali ia bersedia datang lagi, setelah gagal.

Foto/PBSI
Tokyo bukan tempat asing baginya. Tapi kali ini, kota itu menyambutnya tanpa podium kemenangan. Hanya suara raket yang menyentuh kok, dan langkah-langkah yang kembali belajar untuk percaya.
Karena jalan pulang seorang petarung tidak selalu lurus, dan kemenangan tidak selalu datang dalam bentuk trofi. Kadang ia datang perlahan, dalam bentuk satu pertandingan yang selesai tanpa cedera. Satu pukulan yang kembali terasa pas. Atau satu keyakinan: bahwa versi terbaik dari diri sendiri masih bisa diperjuangkan.
Ginting belum pulang. Tapi ia sudah kembali. Dan itu saja sudah cukup untuk hari ini.
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!