Eka Putra Wirya Terima ASEAN Caissa Awards: “Catur adalah Perjalanan Kesetiaan dan Pengabdian Para Pemikir Besar,” kata Presiden ACC
Ludus01

“Bukan karena terang itu besar maka ia disebut cahaya, tetapi karena ia setia menyala, meski hanya dari sebatang lilin.”

Kita tak selalu bisa menunjuk siapa yang paling berjasa dalam sebuah sejarah. Sebab jasa yang paling besar sering kali tidak tampak di podium, melainkan tumbuh diam-diam, dalam jeda, dalam kerja tanpa tepuk tangan. Dalam dunia catur Indonesia, nama Eka Putra Wirya barangkali adalah satu dari sedikit yang demikian. Ia bukan pecatur, bukan pula pelatih atau pengurus federasi. Tapi jejaknya ada di hampir setiap langkah penting dalam perjalanan catur negeri ini menuju panggung dunia.
Pada peringatan 25 tahun ASEAN Chess Confederation (ACC), Eka menerima Distinguished ASEAN Sponsor Award, sebuah penghargaan yang baru pertama kali diberikan. Penghargaan ini diserahkan dalam upacara penutupan Event Pre-SEA Games di Penang, Malaysia. Karena Eka tengah berada di Jakarta, penghargaan tersebut diterima oleh sahabat seperjuangannya, Kristianus Liem.

Presiden ASEAN Chess Confederation (ACC) Sahapol Nakvanich TCA memberikan penghargaan kepada Eka Putra Wirya yang diwakili oleh Kristianus Liem, Rabu (9/7/25). Foto/Istimewa
“Ia telah mendukung perkembangan catur sejak awal 90-an,” kata Presiden ASEAN Chess Confederation (ACC) Sahapol Nakvanich TCA, usai memberikan penghargaan kepada LUDUS.ID melalui Whatsapp.
“Keterlibatan pribadinya dalam mendukung pemain berbakat untuk bertanding internasional dan dalam menyelenggarakan berbagai turnamen besar di Indonesia membuat kontribusinya tak tergantikan,” sambung Ignatius Leong, Founding President and Chief Executive ACC.
"Kami menganalisis setiap negara. Dari Indonesia, Eka adalah salah satu penerima penghargaan. Ia telah mendukung perkembangan catur sejak awal tahun 1990-an. Kontribusinya yang berkelanjutan dalam membina para pecatur selama puluhan tahun merupakan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ia pantas mendapatkan penghargaan, bukan hanya dari Indonesia, tetapi juga dari ASEAN."

Founding President and Chief Executive ACC Ignatius Leong. Foto/Istimewa
"ASEAN Caissa Awards mulai diberikan pada tahun 2023 dengan berbagai kategori yang berbeda. Namun, Distinguished ASEAN Sponsor Award adalah kategori baru dan akan terus disertakan pada tahun-tahun mendatang," jelas Leong.
Tahun ini, ada tujuh penerima ASEAN Caissa Awards. Tiga berasal dari Indonesia: Universitas Gunadarma, PT Japfa Comfeed, dan Eka Putra Wirya. Sisanya dari Malaysia, Filipina, dan Singapura: IGB Berhad, Prospero A. Pichay Jr., Tan Lian Ann, serta Kasparov Chess Foundation Asia Pacific. ASEAN Caissa Awards sendiri mulai diberikan sejak tahun 2023 dengan berbagai kategori. Namun penghargaan Distinguished ASEAN Sponsor Award yang diberikan kepada Eka merupakan kategori baru, diperkenalkan pada 2025 sebagai bagian dari perayaan seperempat abad ACC, dan akan terus diikutsertakan dalam tahun-tahun berikutnya.
“Mr. Eka memang layak dan pantas disebut Bapak Catur Indonesia,” ujar Leong. Sebuah penegasan yang cukup menggambarkan seberapa dalam jejak Eka di negeri ini.
Namun sejatinya, pengakuan ini bukanlah yang pertama. Jauh sebelum ASEAN memberikan penghormatan, Eka telah menerima sejumlah penghargaan bergengsi yang mencerminkan konsistensinya membina olahraga, khususnya catur, di tanah air. Tahun 1995, ia dinobatkan sebagai Pembina Olahraga Terbaik oleh berbagai media nasional: Kompas, Tribun Olahraga, Suara Pembaruan, dan SIWO PWI Jaya. Setahun kemudian, pada 1996, ia menerima Bintang Jasa Adi Manggalya Krida dari Presiden Republik Indonesia, penghargaan tertinggi bagi pembina olahraga.

Eka Putra Wirya menerima Golden Award Lifetime Achievement dari SIWO PWI tahun 2019. Foto/Dokpri
Pada tahun 2000, Satya Karya Bina Olahraga dari KONI turut diberikan kepadanya. Dan pada 2019, ia menerima Golden Award Lifetime Achievement dari SIWO PWI sebagai bentuk penghormatan atas kiprah panjangnya yang tak pernah surut.
“Saya menerima penghargaan ini bukan sebagai pencapaian pribadi,” ujar Eka, “melainkan sebagai pengingat akan tanggung jawab yang terus menyala: untuk tidak pernah berhenti membangun dan mengembangkan catur tanpa batas.”
“Saya bersyukur bila lilin kecil di dunia catur yang saya nyalakan, ternyata turut menerangi perjalanan pecatur Indonesia hingga ke panggung dunia, bahkan terang lilin itu pun dirasakan oleh dunia catur internasional. Semoga semangat ini akan terus menyala dan diwariskan, hingga Indonesia tidak hanya dikenal sebagai bangsa yang besar, tetapi juga bangsa yang berpikir besar.”

Dalam suasana syukur itu, Eka juga menyebut dua nama yang menurutnya menjadi sumber inspirasi dan sahabat seperjalanan dalam dunia catur: Grandmaster Utut Adianto dan Kristianus Liem. “Mereka bukan hanya teman berpikir, tetapi cermin keyakinan bahwa catur bisa menjadi jalan hidup yang bermakna. Saya mungkin tak akan bertahan sejauh ini tanpa melihat bagaimana mereka konsisten dan ikhlas mengabdi.”
Kita kerap terpukau pada bidak yang menyeberang, kuda yang melompat, atau raja yang terancam. Tapi siapa yang ingat pada orang-orang yang membuat pertandingan itu mungkin terjadi? Yang mendanai, membina, mengatur, dan mendukung dari jauh?
Di sanalah Eka berdiri. Atau lebih tepatnya: berjalan. Pelan, sabar, dan terus menyalakan lilin kecil yang kini menerangi lebih dari sekadar satu nama atau satu turnamen. Ia mendampingi langkah-langkah awal pecatur muda Indonesia ke kancah internasional. Ia mendukung sekolah, federasi, turnamen, bahkan mempercayai impian anak-anak muda sebelum nama mereka dikenal siapa-siapa.

Merayakan syukuran 32 tahun berdirinya Sekola Catur Utut Adianto, sekaligus syukuran atas penghargaan yang diterima Eka Putra Wirya. Foto/ludus.id
Tahun ini, Sekolah Catur Utut Adianto yang ia bangun, merayakan ulang tahunnya yang ke-32. Perayaan syukuran sekolah itu bertepatan dengan rasa syukur atas penghargaan yang baru saja diterimanya. Sebab bagi Eka, keduanya lahir dari semangat yang sama: melayani masa depan lewat ketekunan hari ini.
Rini Anggraini, istrinya, telah menyaksikan perjalanan panjang itu dari jarak terdekat. Dalam percakapan yang hangat namun penuh keteguhan, ia menyebut penghargaan ini bukanlah kejutan. “Saya melihat dengan mata saya sendiri bagaimana ia memberi dirinya untuk dunia catur,” ujarnya. “Jadi ketika ia menerima penghargaan ini, saya hanya bisa berkata dalam hati: tentu saja. Ia memang layak. Bahkan lebih dari layak.” Kalimat itu sederhana, tapi seperti memantulkan keyakinan dari rumah yang paling tahu: bahwa cinta pada catur bukan sekadar kerja luar, tapi pilihan hidup yang telah merasuk hingga ke inti keluarga.

Ignatius Leong menyebut Eka layak menjadi simbol di Indonesia. Tapi barangkali, kita tidak memerlukan gelar untuk memahami makna sebuah pengabdian.
“Kebesaran tidak selalu datang dari kemenangan,” tulis Victor Frankl, “tapi dari kesetiaan mengabdi pada sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.”
Catur adalah arena berpikir. Tapi lebih dari itu, ia adalah tempat di mana kesabaran dan ketekunan diuji tanpa jeda. Dan orang-orang seperti Eka adalah penjaga ruang itu, yang membiarkan para pemainnya bersinar, tanpa pernah berebut sorotan.
Ia bukan pecatur. Tapi barangkali, ia telah memainkan partitur paling penting dalam simfoni panjang catur Indonesia. Dalam diam, dalam kesetiaan, dalam pengabdian. Dan seperti sebatang lilin yang menyala, tak besar, tapi cukup menerangi jalan para pemikir besar.

Dan mungkin, dari semua mata yang menatap penghargaan itu, tak ada yang lebih basah ketimbang mata seorang perempuan yang sejak muda telah berjalan di sisinya. Ia tahu benar bahwa yang tertulis di plakat itu bukan sekadar nama, melainkan tahun-tahun yang telah mereka lalui bersama: tahun-tahun rapat, tahun-tahun sepi, tahun-tahun ketika dunia tidak melihat, tapi cinta mereka tetap menyala.
Ia tidak hanya melihat suaminya menerima penghargaan, tapi melihat kembali seorang laki-laki yang ia cintai sejak dulu, yang tetap teguh berdiri karena percaya, bahwa membangun sesuatu tanpa pamrih adalah bentuk cinta yang paling jernih.

Barangkali memang begitulah cinta bekerja: tak selalu harus diucapkan, cukup disaksikan dalam sunyi yang panjang, dan akhirnya dikenang dalam kalimat-kalimat kecil yang diukir di atas logam. Dan plakat itu pun, lebih dari sekadar penghargaan.
Ia adalah cermin perjalanan, dan dalam pantulannya, ada seorang wanita yang tetap berdiri, mendampingi seorang lelaki yang tak pernah lelah menyalakan cahaya, satu bidak demi satu bidak, sampai bangsa ini mengerti bahwa berpikir besar adalah warisan yang paling mulia.

"He is more than deserve," kata Rini Anggraini, tegas dan penuh kebanggaan.
APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!