Menuju Langit Asia: Enam Jiwa Tangguh, Satu Misi Merah Putih di Trango Tower
Ludus01

LUDUS - Sore itu, langit di atas Bandara Soekarno-Hatta tidak menunjukkan tanda-tanda dramatis. Tetapi di ruang keberangkatan, ada enam jiwa yang detak jantungnya lebih keras dari mesin jet. Mereka bukan pelancong. Bukan juga wisatawan yang hendak melancong ke Himalaya untuk menikmati salju. Mereka adalah atlet panjat tebing dari Indonesia Big Wall Expedition (IBEX), membawa misi yang tidak main-main: menaklukkan Eternal Flame, jalur pemanjatan paling legendaris di tebing vertikal Nameless Tower, bagian dari kompleks Trango Tower di Pakistan, yang menjulang 6.251 meter di atas permukaan laut.

Nameless Tower bukanlah sekadar tumpukan granit. Ia adalah monolit megah yang berdiri angkuh di Pegunungan Karakoram, wilayah utara Pakistan, tempat udara tipis dan angin dingin memahat tebing hingga menyerupai altar batu raksasa.
Sejak pertama kali ditaklukkan pada tahun 1989 oleh empat pemanjat asal Jerman, Kurt Albert, Wolfgang Güllich, Christof Stiegler, dan Milan Sykora, nama Nameless Tower menjadi mitos dalam dunia panjat tebing. Di antara para pemanjat elite, Eternal Flame adalah legenda. Rute yang mereka lewati pertama kali itu kini menjadi ujian tertinggi bagi siapa pun yang ingin menuliskan namanya di sejarah dinding batu dunia.

Ini bukan sekadar ekspedisi. Ini adalah langkah historis yang, jika berhasil, akan menjadikan Indonesia sebagai negara Asia pertama yang berhasil menjinakkan Eternal Flame, jalur yang selama ini hanya bisa ditembus oleh pemanjat elite dari Eropa dan Amerika. Jalur itu nyaris vertikal, 1.100 meter panjangnya, dan tak ada ruang untuk ragu. Jalur yang dinamai dari sesuatu yang terus menyala, terus membakar, tanpa padam. Mungkin begitu juga semangat enam pemanjat ini.
“Ini bukan untuk IBEX saja, ini untuk INDONESIA,” kata Freden Sembiring, pemimpin ekspedisi sekaligus Ketua IBEX, dengan nada tegas namun tetap mengendap rasa syukur. Baginya, memanjat bukan sekadar cabang olahraga. Itu jalan hidup. “Sepanjang hidup, kami akan terus memanjat tebing,” lanjutnya, seolah berbicara kepada dinding granit yang entah mengapa terdengar mendengarkan.

IBEX sendiri bukanlah organisasi dadakan. Ia lahir dari semangat untuk menjadikan olahraga panjat tebing bukan hanya ajang lomba, tetapi juga bagian dari kehidupan petualangan yang berakar kuat di alam dan semangat kebangsaan.
Didirikan pada 26 September 2019, IBEX bertujuan mengembangkan dan meningkatkan prestasi olahraga petualangan, khususnya di bidang panjat tebing, dari tingkat lokal hingga mancanegara. Namun kiprahnya tak hanya soal tebing. IBEX juga aktif dalam pendidikan, sosial, ekonomi, hingga pelestarian lingkungan, dan menyalurkan semua itu lewat ekspedisi-ekspedisi ke tebing-tebing besar, yang oleh mereka disebut big wall, baik di dalam maupun luar negeri.

Sejauh ini, jejak IBEX telah membentang di tebing-tebing besar di seluruh penjuru negeri: dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Papua, hingga menembus dinding raksasa di Amerika Serikat. Dan kini, langkah kaki mereka menuju Pakistan, ke jantung Himalaya, untuk menghadapi salah satu dinding tersulit di dunia.
Ekspedisi Merah Putih Trango Tower 2025 (EMPTT) ini telah dipersiapkan selama dua tahun, bukan hanya secara fisik, tetapi juga mental, logistik, dan pelatihan penyelamatan. “Setiap anggota sudah dibekali kemampuan vertical rescue dan evakuasi di medan terjal,” jelas Freden. Tak ada ruang untuk ketergantungan. Semua harus bisa menjadi penolong, sekaligus penyintas.
Tim memulai perjalanan panjang pada 13 Juli 2025. Mereka akan menempuh trekking menuju base camp Ascoli selama empat hari, dari 17 hingga 19 Juli. Setelah itu, tanggal 25 Juli hingga 10 Agustus, mereka akan mulai meniti dinding Trango Tower.
Tidak mendaki seperti kebanyakan gunung, tapi memanjat: bergelantungan, menggantung, tidur di udara, dengan suhu siang hari yang berkisar antara minus 4 hingga 7 derajat Celsius. Jika itu belum cukup berat, monsun di utara Pakistan juga menambah bahaya dengan curah hujan tinggi dan pencairan gletser yang membuat dinding batu menjadi licin dan tak terduga.
Namun tidak ada yang kelihatan gentar. Tim ini adalah perpaduan enam kekuatan yang telah ditempa medan.

Freden Sembiring memimpin tim dengan pengalaman pemanjatan internasional yang luas. Di sampingnya, ada Nazib Fadlullah, pakar sport science dan teknik rock climbing yang menjadikan setiap tarikan tangan dan pijakan kaki berbasis perhitungan ilmiah, bukan semata naluri.

Nazib Fadlullah. Foto/Dok.IBEX
Deden Wahyudin, sosok yang telah 20 kali menaklukkan Cartenz Pyramid, membawa kredibilitas sebagai pendaki dan guide profesional.

Deden Wahyudin. Foto/Dok.IBEX
Lalu Asep Tatang, spesialis ice climbing yang sudah terbiasa menaklukkan vertikal es, keahlian yang akan sangat dibutuhkan di Trango.

Asep Tatang. Foto/Dok.IBEX
Dua Iqbal melengkapi formasi: Iqbal Kamal Fasya, pemanjat teknis yang pernah mencapai puncak El Capitan di Yosemite, dan Iqbal Ramadhan, si pengelana vertikal yang telah mengukir jejak di dinding-dinding big wall di hampir seluruh provinsi Indonesia.

Mereka bukan sekadar tim. Mereka adalah kesatuan ritme, simpul-simpul kepercayaan, dan perpanjangan tangan dari Merah Putih. Dan misi mereka lebih dari sekadar menaklukkan tebing. Ini juga menjadi simbol diplomasi: perayaan 75 tahun hubungan bilateral Indonesia dan Pakistan. “Adalah sebuah kehormatan menjadi perwakilan diplomasi, menjalin kerja sama antarnegara lewat panjat tebing,” ujar Mayjen TNI (Purn) Asro Budi, Pembina Ekspedisi.
Trango Tower bukan sekadar menantang ketinggian. Ia menantang waktu, ragu, dan batasan. Setiap inci yang berhasil dicapai bukan hanya pencapaian fisik, tapi juga pengukuhan bahwa semangat tak pernah tunduk pada medan. Enam pemanjat ini membawa lebih dari tali dan carabiner. Mereka membawa nama bangsa, harapan, dan satu kalimat yang terus mereka ulang dalam hati: bahwa Indonesia, negeri tropis di garis katulistiwa, juga bisa berdiri gagah di dingin Himalaya, di jalur paling ekstrem, dengan bendera yang tak pernah luntur warnanya.

Di udara Pakistan yang tipis dan menusuk, Merah Putih akan dikibarkan, jika mereka berhasil. Tapi seperti kata mereka sendiri, keberhasilan bukan hanya soal sampai puncak. Ini tentang keberanian untuk terus naik, terus berjuang, terus percaya bahwa jalan ke atas, walau vertikal dan nyaris mustahil, selalu bisa ditempuh. Karena terkadang, cinta pada tanah air itu juga berarti menggantungkan diri di dinding batu ribuan meter, demi melihat bendera sendiri melambai paling tinggi.
Ekspedisi ini membawa harapan besar. Bukan hanya untuk membuktikan bahwa panjat tebing adalah olahraga yang patut dihormati, tapi juga bahwa ia adalah pelajaran hidup. Tentang fokus, tentang kerja sama, tentang keberanian untuk terus bertahan meski pijakan kian menipis. Dan di balik semua itu, mengintip peluang yang lebih besar, bahwa Indonesia, dengan kekayaan tebing alamnya dari Papua hingga Sumatra, dari Sulawesi hingga Nusa Tenggara, bisa menjadi pusat wisata panjat tebing dunia.

Jika Eternal Flame bisa ditaklukkan oleh enam anak bangsa ini, maka dunia akan menoleh. Dan ketika dunia menoleh, bukan hanya prestasi yang dilihat, tetapi juga potensi. Potensi tebing-tebing batu yang belum tersentuh, potensi desa-desa yang bisa hidup dari petualangan, potensi negeri tropis ini untuk menjadi rumah bagi para pemanjat dunia.

Maka dari dinding granit Trango Tower, suara Indonesia akan bergema: bahwa keberanian bisa datang dari garis khatulistiwa, dan bahwa mimpi bisa mendaki setinggi apa pun, selama kita punya tali, keyakinan, dan jiwa yang tak pernah lelah untuk terus memanjat.

APA KAMU SUKA DENGAN ARTIKEL INI ?
MULAI BAGIKAN
Response (0)
John Doe
Login untuk berkomentar
Silakan login untuk berkomentar pada artikel ini.
No comments yet. Be the first to comment!